TIMES GRESIK, GERSIK – Sebelum Revolusi Prancis berbicara tentang kesetaraan, Nabi Muhammad Saw, telah menegaskan prinsip itu di Arafah. Maka, adab santri bukan sisa feodalisme, tetapi jejak peradaban yang menjaga martabat ilmu.
Belakangan ini istilah feodalisme kembali ramai diperdebatkan. Banyak yang menggunakan kata itu untuk menyerang lembaga-lembaga yang masih memelihara struktur penghormatan, seperti pesantren atau komunitas keagamaan.
Tak sedikit pula yang menuduh balik bahwa dunia kerja modern justru lebih feodal karena dipenuhi sistem hierarki dan kepatuhan pada atasan. Dalam suasana riuh itulah, istilah feodalisme kerap kali kehilangan makna asalnya dan berubah menjadi senjata retoris belaka.
Secara historis, feodalisme merujuk pada sistem sosial-politik Eropa Abad Pertengahan, ketika tanah menjadi sumber kekuasaan dan loyalitas pribadi menjadi fondasi hubungan sosial. Raja memberikan sebidang tanah kepada bangsawan atau kesatria sebagai imbalan kesetiaan dan jasa. Para bangsawan itu lalu menguasai petani dan hamba yang bekerja di tanah tersebut.
Sistem ini kemudian dianggap simbol ketidakadilan dan kemunduran oleh para pemikir modern, terutama setelah Revolusi Prancis tahun 1789, yang melahirkan semboyan liberte, egalite, fraternite kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Sejak saat itu, istilah feodal mengandung konotasi negatif ; yakni relasi sosial yang timpang dan menindas.
Jauh sebelum Revolusi Prancis, lebih dari sebelas abad sebelumnya, Nabi Muhammad Saw. sudah menegaskan prinsip kesetaraan manusia dalam Khutbah Hajjatul Wadaʿ pada tahun 632 M (10 H). Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu satu dan bapakmu satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, dan tidak pula non-Arab atas Arab, kecuali dengan takwa.”
Inilah pernyataan revolusioner yang menolak seluruh bentuk feodalisme berbasis ras, keturunan, maupun status sosial. Islam menolak absolutisme manusia atas manusia, dan menempatkan kemuliaan hanya pada takwa. Pesantren memahami prinsip ini dengan baik: kesetaraan manusia dijaga melalui adab dan ilmu, bukan dengan menghapus penghormatan atau hierarki keilmuan.
Sayangnya, dalam perdebatan publik hari ini, feodalisme sering dimaknai serampangan. Semua bentuk penghormatan dianggap feodal, semua bentuk kepatuhan disebut ketinggalan zaman. Padahal tidak setiap relasi hierarkis bersifat feodal.
Dalam dunia modern, hierarki justru dibutuhkan agar sistem bekerja dengan baik. Seorang pilot memegang kendali atas penerbangan, sementara pramugari memberi instruksi yang wajib dipatuhi penumpang.
Tidak ada unsur penindasan di sana, karena relasi itu diikat oleh aturan keselamatan dan profesionalisme, bukan oleh kepemilikan kuasa pribadi. Kepatuhan jenis ini disebut compliance –ketaatan pada nilai dan sistem– bukan obedience kepada figur.
Dalam tradisi keilmuan Islam, penghormatan kepada guru bukanlah sisa feodalisme, melainkan bagian dari sistem nilai yang menjamin keberlangsungan ilmu. Santri menghormati kiai bukan karena takut atau bergantung secara ekonomi, melainkan karena mengakui kedudukan ilmunya. Yang dihormati bukan pribadi, tapi sanad keilmuannya.
Maka, kepatuhan santri bukan ketaatan buta, tetapi bagian dari etika intelektual yang menumbuhkan keberkahan ilmu. Menyamakan taʿzim dengan feodalisme adalah kesalahan epistemik, karena keduanya lahir dari akar nilai yang berbeda: yang satu dari kuasa duniawi, yang lain dari kemuliaan ruhani.
Ironinya, dunia modern yang lantang menolak feodalisme kadang justru mempraktikkan bentuk feodalisme baru: feodalisme kelas bisnis. Ia hadir dalam bentuk eksklusivitas gaya hidup, pemujaan terhadap jabatan, dan pencarian status sosial.
Orang menolak hierarki tradisional, tapi masih menikmati hierarki ekonomi yang lebih halus. Ia mungkin tidak sujud kepada bangsawan, tetapi tunduk pada simbol-simbol prestise yang sama: akses, fasilitas, dan kekuasaan.
Karena itu, perdebatan soal feodalisme mestinya diarahkan pada substansi: apakah sebuah sistem melahirkan penindasan, atau justru menegakkan nilai. Kalau penghormatan melahirkan adab, maka ia bagian dari peradaban. Tapi kalau penghormatan melahirkan ketakutan dan ketimpangan, di situlah feodalisme yang sesungguhnya.
Feodalisme sejati bukan terletak pada cara duduk, menunduk, atau mencium tangan. Ia terletak pada siapa yang merasa lebih tinggi dari manusia lain tanpa dasar ilmu dan nilai. Selama manusia masih mencari kehormatan tanpa kebenaran, feodalisme akan terus berganti rupa kadang bersarung, kadang berdasi, kadang pula duduk nyaman di kursi kelas bisnis.
***
*) Oleh : Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik dan Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |