TIMES GRESIK, GRESIK – Penolakan Indonesia terhadap kehadiran atlet Israel dalam ajang olahraga internasional memang lahir dari dasar moral yang kuat. Bangsa ini tidak ingin terlihat diam di tengah tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat Palestina.
Kita menyaksikan genosida yang kejam: ribuan warga sipil terbunuh, rumah-rumah luluh lantak, dan anak-anak kehilangan masa depannya. Dalam nurani umat, penolakan terhadap simbol kenegaraan Israel terasa sebagai bentuk keberpihakan pada korban: sebuah pernyataan bahwa kemanusiaan lebih tinggi dari protokol diplomatik.
Dalam dunia yang saling terhubung, setiap keputusan moral harus dikawal oleh kecerdasan strategis. Penolakan yang tidak diiringi kalkulasi diplomatik kini berbuah sanksi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC, International Olympic Committee).
Dalam keputusan resminya, IOC menilai Indonesia telah melanggar prinsip Olympic Charter yang menjamin non-diskriminasi terhadap peserta berdasarkan ras, agama, atau kebangsaan. Dampaknya, Indonesia dibekukan dari beberapa kegiatan olahraga global, dan peluang menjadi tuan rumah event internasional ikut terancam.
Sanksi ini seharusnya menjadi pelajaran penting: idealisme tanpa strategi bisa menjadi bumerang. Kita boleh menolak kezaliman, tetapi tidak dengan cara yang menutup pintu bagi perjuangan itu sendiri.
Ketika Indonesia menolak atlet Israel, dunia tidak melihatnya sebagai pembela Palestina, melainkan sebagai pelanggar kesepakatan internasional. Di mata global, moralitas kita tidak terbaca sebagai keberanian, tetapi sebagai inkonsistensi.
Padahal, sejarah bangsa ini mengajarkan keseimbangan antara moral dan strategi. Bung Karno tidak hanya menentang kolonialisme, tetapi juga memanfaatkan diplomasi global untuk memperjuangkan nasib bangsa-bangsa tertindas.
Dalam konteks sekarang, semangat itu seharusnya diterjemahkan sebagai upaya memperluas pengaruh Indonesia di forum-forum internasional agar bisa menekan Israel secara politik, ekonomi, dan hukum, bukan sekadar melalui aksi simbolik yang berujung sanksi.
Kita tentu tidak menafikan luka Palestina. Tapi solidaritas yang sejati bukanlah menutup ruang olahraga, melainkan membuka ruang martabat. Arena olahraga internasional justru bisa menjadi panggung untuk menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan tanpa kekerasan.
Bayangkan bila atlet Indonesia tampil dan, di podium kemenangan, mengangkat bendera merah putih berdampingan dengan pesan perdamaian untuk Palestina itu akan menjadi protes yang jauh lebih beradab dan efektif.
Dalam Islam, sikap moral selalu dituntun oleh hikmah (al-ḥikmah). Nabi Saw. mengajarkan bahwa setiap keputusan harus mempertimbangkan maṣlaḥah dan mafsadah : kemaslahatan dan kerusakan yang mungkin timbul.
Di sinilah relevan kaidah fiqhiyyah: Daru al-mafāsid muqaddamun ala jalbi al-masalih, yang berarti menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan. Artinya, ketika sebuah tindakan bermoral justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar seperti hilangnya reputasi nasional, sanksi internasional, dan kesempatan memperjuangkan Palestina dari dalam sistem global, maka Islam menganjurkan agar kita memilih jalan yang lebih membawa maslahat.
Solidaritas terhadap Palestina tetap harus hidup, tetapi dengan cara yang terukur: melalui diplomasi, bantuan kemanusiaan, advokasi hukum internasional, dan pendidikan publik yang membentuk kesadaran moral.
Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, memiliki potensi besar menjadi pemimpin moral dunia. Tapi potensi itu akan sia-sia bila kita tidak pandai mengelola sikap.
Dunia modern menilai bukan hanya niat, tetapi juga ketepatan langkah. Karena itu, bangsa ini harus belajar menyeimbangkan antara semangat kemanusiaan dan kecerdasan diplomasi.
Sanksi dari IOC bukanlah akhir segalanya. Ia adalah cermin agar kita menata ulang cara berjuang. Bila niat kita tulus membela Palestina, maka perjuangan itu harus diiringi hikmah dan strategi. Sebab keadilan tidak akan tegak oleh kemarahan semata, melainkan oleh kecerdasan moral yang berwibawa.
Indonesia akan tetap dihormati bukan karena emosinya, tetapi karena kemampuannya menegakkan nilai dengan cara yang beradab. Solidaritas sejati bukan menutup pintu dunia, melainkan membuka jalan agar dunia mau mendengar suara kebenaran dari bangsa yang berakhlak dan berpikir jernih.
***
*) Oleh : Ahmad Chuvav Ibriy, Pengasuh Ponpes Al-Amin Mojowuku Kedamean Gresik dan Pemerhati Isu Kebangsaan dan Pemikiran Keislaman Inklusif.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |